Sunday, May 30, 2010

Hawa yang menanti.


Di sepertiga malam, di taman firdaus yang tak bernama, seorang Hawa duduk didepan gubuknya yang beratapkan jerami menguning. Matanya yang bulat tapi sudah begitu nanarnya tak pernah lepas dari hutan khuldi yang terhampar di seberang. Selalu begitu setiap malam, tak berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Jika lelah memandangi hutan khuldi, maka mata Hawa akan berpaling ke langit malam yang penuh dengan sinar-sinar kecil. Ia terus melakukan itu sampai warna malam telah pudar. Sampai-sampai Hawa memberi nama ke semua titik sinar di langit.
Malam ini, Hawa yang berjalan perlahan keluar gubuk menaruh tubuhnya di atas tikar yang dirajut dari serabut ilalang yang banyak tumbuh di samping gubuknya.  Matanya kembali tertuju pada hutan khuldi di seberang. Air matanya mulai mengalir, perlahan lalu menjadi deras. Hawa tak kuasa menahan gulana di dadanya. Badannya berguncang diiringi dengan isak tangis yang begitu syahdu, di sepertiga malam. Sendiri. Hidupnya koma, jiwanya kosong. Kegelapan merangkulnya begitu lekat. Isak Hawa sudah mereda, namun tangisnya belum kunjung selesai. Hawa menangis tanpa suara. Matanya mensiratkan kepedihan yang mendalam.
Tiba-tiba seekor kunang-kunang terbang rendah mengitari Hawa. Dan menyapa Hawa.
“Selamat malam, Wahai Hawa.”
“Malam kunang-kunang kecil,”
“Kenapa wajahmu begitu sedih?”
“Aku menanti, Wahai kunang,”
“Apa yang kau nanti, Hawa?”
“Adamku, kunang,”
“Dimana dia?”
“Di dalam hutan khuldi,”
“Bukankah itu hutan terlarang, Wahai Hawa? Mengapa Ia kesana?”
“Ia tersesat..”
“Dan kau menunggu orang yang tersesat, Hawa?”
“Ya, kunang,”
“Bukankah kau tak tahu kapan Ia akan keluar? Hutan itu terlarang, Hawa. Kelak ribuan burung ababil akan menjatuhkan batu-batu api di hutan khuldi itu. Barang siapa yang masuk ke dalamnya niscaya bukanlah orang yang patut kau nanti, Ia pasti akan terbuai di dalam surga khuldi yang begitu fana. Jadi untuk apa kau menantinya, Hawa?”.
“Untuk menghidupkan hidupku kembali, kunang,”
“Apa maksudmu, Hawa?”
“Kunang, aku tidak cukup kuat untuk kesenangan dan manisnya kehidupan. Karena aku kosong. Aku ingin dapat terbang seperti dulu lagi, tapi bagaimana mungkin, sayap-sayapku telah patah.  Aku ingin merasakan cahaya mentari yang begitu kurindukan, dan itu juga tidak mungkin karena matahariku tidak disini,”
“Apakah dengan menanti Adam akan terhapus semua penderitaanmu Hawa?”
“Tentu saja tidak dengan menanti, kunang, tapi dengan datangnya Adam. Sebab dia yang akan mengajariku untuk mengerti manis dan indahnya hidup kembali. Ia yang akan menuangkan kasih di jiwaku yang kosong ini. Ia yang akan meminjamkanku sayap-sayapnya agar aku dapat terbang lagi. Dan Ia yang akan menyinari tapak jalanku dan mengusir kegelapan jauh-jauh dari kehidupanku,” Hawa berkata dengan nafas yang terburu-buru dan seketika tangisnya mulai pecah lagi.
“Sabarlah Wahai Hawa. Terangi jalannya dengan cintamu yang begitu besar, agar Ia perlahan dapat melangkah keluar dari hutan khuldi itu. Dendangkanlah tangismu seakan menjadi lagu syahdu sebagai pengantar tidurnya dan akan membangunkannya di pangkuanmu. Panggilah namanya di setiap kau menghela nafas, Wahai Hawa, niscaya dia akan mendengarnya dan merasakan hembusan nafasmu,”
Hawa menghapus air mata di wajahnya. Kemudian menangkap kunang-kunang kecil itu dan meletakkan di atas telapak tangannya yang berwarna pucat.
“Ya, kunang, aku akan melakukannya di setiap hela nafasku..”


teruntuk “Adamku” di luar sana..




I wrote this years ago. Thanks to Khalil Gibran for giving me inspiration.