Di sepertiga malam, di taman firdaus yang tak bernama,
seorang Hawa duduk didepan gubuknya yang beratapkan jerami menguning. Matanya
yang bulat tapi sudah begitu nanarnya tak pernah lepas dari hutan khuldi yang
terhampar di seberang. Selalu begitu setiap malam, tak berbeda dengan
malam-malam sebelumnya. Jika lelah memandangi hutan khuldi, maka mata Hawa akan
berpaling ke langit malam yang penuh dengan sinar-sinar kecil. Ia terus
melakukan itu sampai warna malam telah pudar. Sampai-sampai Hawa memberi nama
ke semua titik sinar di langit.
Malam ini, Hawa yang berjalan perlahan keluar gubuk
menaruh tubuhnya di atas tikar yang dirajut dari serabut ilalang yang banyak
tumbuh di samping gubuknya.
Matanya kembali tertuju pada hutan khuldi di seberang. Air matanya mulai
mengalir, perlahan lalu menjadi deras. Hawa tak kuasa menahan gulana di
dadanya. Badannya berguncang diiringi dengan isak tangis yang begitu syahdu, di
sepertiga malam. Sendiri. Hidupnya koma, jiwanya kosong. Kegelapan merangkulnya
begitu lekat. Isak Hawa sudah mereda, namun tangisnya belum kunjung selesai.
Hawa menangis tanpa suara. Matanya mensiratkan kepedihan yang mendalam.
Tiba-tiba seekor kunang-kunang terbang rendah
mengitari Hawa. Dan menyapa Hawa.
“Selamat malam, Wahai Hawa.”
“Malam kunang-kunang kecil,”
“Kenapa wajahmu begitu sedih?”
“Aku menanti, Wahai kunang,”
“Apa yang kau nanti, Hawa?”
“Adamku, kunang,”
“Dimana dia?”
“Di dalam hutan khuldi,”
“Bukankah itu hutan terlarang, Wahai Hawa? Mengapa Ia
kesana?”
“Ia tersesat..”
“Dan kau menunggu orang yang tersesat, Hawa?”
“Ya, kunang,”
“Bukankah kau tak tahu kapan Ia akan keluar? Hutan itu
terlarang, Hawa. Kelak ribuan burung ababil akan menjatuhkan batu-batu api di
hutan khuldi itu. Barang siapa yang masuk ke dalamnya niscaya bukanlah orang
yang patut kau nanti, Ia pasti akan terbuai di dalam surga khuldi yang begitu
fana. Jadi untuk apa kau menantinya, Hawa?”.
“Untuk menghidupkan hidupku kembali, kunang,”
“Apa maksudmu, Hawa?”
“Kunang, aku tidak cukup kuat untuk kesenangan dan
manisnya kehidupan. Karena aku kosong. Aku ingin dapat terbang seperti dulu
lagi, tapi bagaimana mungkin, sayap-sayapku telah patah. Aku ingin merasakan cahaya mentari yang
begitu kurindukan, dan itu juga tidak mungkin karena matahariku tidak disini,”
“Apakah dengan menanti Adam akan terhapus semua
penderitaanmu Hawa?”
“Tentu saja tidak dengan menanti, kunang, tapi dengan
datangnya Adam. Sebab dia yang akan mengajariku untuk mengerti manis dan
indahnya hidup kembali. Ia yang akan menuangkan kasih di jiwaku yang kosong
ini. Ia yang akan meminjamkanku sayap-sayapnya agar aku dapat terbang lagi. Dan
Ia yang akan menyinari tapak jalanku dan mengusir kegelapan jauh-jauh dari
kehidupanku,” Hawa berkata dengan nafas yang terburu-buru dan seketika
tangisnya mulai pecah lagi.
“Sabarlah Wahai Hawa. Terangi jalannya dengan cintamu
yang begitu besar, agar Ia perlahan dapat melangkah keluar dari hutan khuldi
itu. Dendangkanlah tangismu seakan menjadi lagu syahdu sebagai pengantar
tidurnya dan akan membangunkannya di pangkuanmu. Panggilah namanya di setiap
kau menghela nafas, Wahai Hawa, niscaya dia akan mendengarnya dan merasakan
hembusan nafasmu,”
Hawa menghapus air mata di wajahnya. Kemudian
menangkap kunang-kunang kecil itu dan meletakkan di atas telapak tangannya yang
berwarna pucat.
“Ya, kunang, aku akan melakukannya di setiap hela
nafasku..”
teruntuk “Adamku” di luar sana..
I wrote this years ago. Thanks to Khalil Gibran for giving me inspiration.
No comments:
Post a Comment